Praktik korupsi di Indonesia, sebenarnya bukan saja
terjadi pada dua-tiga dekade terakhir. Di era pemerintahan Soekarno, misalnya,
Bung Hatta sudah mulai berteriak bahwa korupsi adalah budaya bangsa. Malah,
pada tahun 1950-an, pemerintah sudah membentuk tim khusus untuk menangani
masalah korupsi.
Tumbuh suburnya perilaku korupsi di Indonesia antara
lain karena adanya ketidakadilan dalam proses hukum. Bagi para koruptor kelas
kakap, sanksi hukum yang diterapkan justru sangat ringan. Mereka hanya divonis
dengan hukuman penjara yang tidak berapa lama. Sebagai contoh, mantan pemilik
Bank Century yang diduga melakukan penggelapan dana nasabah dalam kasus Skandal
Bank Century yaitu Robert Tantular, divonis penjara 4 tahun dengan denda Rp 50
miliar. Padahal menurut data kepolisian, Robert Tantular membawa aset-aset Bank
Century sebesar US$ 19,25 juta atau Rp 192,5 miliar ke luar negeri.
Hadits (bahasa arab: الحديث) secara harfiah berarti perkataan
atau percakapan. Dalam terminologi Islam perkataan dimaksud
adalah perkataan dari Nabi Muhammad SAW. Namun sering
kali kata ini mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah sehingga berarti segala perkataan (sabda), perbuatan,
ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan
ataupun hukum dalam agama. Hadits sebagai sumber hukum
dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum dibawah Al Qur'an.
Dari
sekian gambaran tentang asal-usul dan eksistensi pesantren yang banyak
dikemukakan banyak pakar, khususnya dalam kontek sejarah sistem pendidikan,
proposisi teoritis bahwa pesantren merupakan model pendidikan asli Indonesia
banyak diterima. Dalam kontek kependidikan Islam, argumen pendukung teori ini
adalah fakta bahwa sistem pendidikan dengan model pesantren ternyata tidak
terdapat dibelahan lain dunia muslim kecuali Indonesia, tidak di Timur Tengah
sekalipun yang notabene dengan tempat Islam bersentuhan dengan komplensitas
problem pembelajaran manusia sejak awal kelahirannya. Argumen ini juga
disepakati juga oleh pihak pesantren. Hanya saja jarang dipertanyakan oleh
sejarawan dan praktisi pendidikan pesantren bahwa ada soal penting yang layak
didiskusikan dan ditelusuri dibalik keabsahan premis dasarnya itu.